Terjemahan

Minggu, 05 April 2015

Legenda Seri Pinai

Seri Pinai (Legenda Rakyat)

Di selatan pulau Belitung, tepatnya Dusun Bantan Kecik Desa Kembiri Kecamatan Membalong, yang letaknya berada ditepi sungai besar dan dikelilingi hutan, hiduplah sepasang suami isteri bernama Tuk Pancor dan Nek Pancor. Mata pencaharian mereka sehari-hari adalah bertani ladang. Sambil menunggu panen tiba Tuk Pancor dan Nek Pancor serta masyarakat desa lainnya turun ke sungai mencari ikan untuk lauk pauk. Pada musim tertentu mereka juga pergi ke hutan untuk berburu rusa maupun kelinci. Kegiatan ini senantiasa dilaksanakan secara beramai-ramai oleh seisi kampung dengan penuh rasa kegotongroyongan dan kekeluargaan.

Namun demikian kedamaian dan kebahagiaan belum dapat dirasakan oleh pasangan Tuk Pancor dan Nek Pancor, mengingat setelah sekian lama berumah tangga pasangan ini belum dikarunai seorang anakpun. Sementara kerinduan akan hadirnya seorang anak senantiasa menggangu ketentraman hidup keluarga ini.
Suatu hari seusai panen, masyarakat turun ke sungai untuk mencari ikan dan kerang. Namun sial bagi Tuk Pancor, setiap kali jala dilempar maka bukan ikan yang didapat tetapi selalu sepotong bambu, setiap kali bambu tersebut dibuang maka bambu itu pula yang menyangkut bila jala ditarik, seakan-akan tidak mau lepas dari jala Tuk Pancor. Dengan rasa kesal tanpa hasil, akhirnya Tuk Pancor pulang sambil membawa bambu tersebut.
Ketika cuaca panas terik, Nek Pancor menjemur padi di halaman rumahnya dan bambu yang dibawa Tuk Pancor dari menjala ikan dimanfaatkan untuk menindih tikar penjemur padi agar tidak diterbangkan angin. Cuaca cerah ini dimanfaatkan pula oleh Tuk Pancor dan masyarakat kampung untuk berburu rusa ke dalam hutan. Dalam keheningan kampung tiba-tiba Nek Pancor dikejutkan oleh suara petir ditengah hari. Suara ini ternyata berasal dari bambu penindih jemuran padi yang pecah tanpa sebab. Seiring dengan suara tersebut, tiba-tiba datang angin kencang dan hujan badai. Setelah hujan badai reda, maka secara tiba-tiba pula terdengar tangis bayi. Ternyata bayi tersebut berasal dari bambu yang pecah dan terbelah yang dibawa oleh Tuk Pancor dari menjala ikan. Dengan perasaan takut, heran dan takjub, Nek Pancor mendekati bayi tersebut. Karena didorong kerinduan akan hadirnya seorang anak, maka bayi tersebut yang ternyata bayi perempuan yang cantik dan sehat, dibawa masuk ke rumah dan dibersihkan dari kotoran tanah dan lumpur serta diangkatnya bayi itu menjadi anak.
Ketika Tuk Pancor dan rombongan pulang dari berburu, maka diceritakanlah kejadiaan yang dialami oleh Nek Pancor tadi. Dengan bangga dan penuh rasa kasih sayang, bayi inipun diberi nama Seri Pinai. Setelah Seri Pinai tumbuh remaja tampak semakin cantik dan disenangi oleh teman-teman sebayanya karena ia memiliki budi pekerti yang halus dan suka menolong. Seiring dengan pergantian hari, maka Seri Pinaipun tumbuh semakin dewasa.
Pada suatu hari datanglah rombongan perahu melewati sungai Kembiri dan berlabuh ditepi sungai dekat Dusun Tuk Pancor. Rombongan ini ternyata berasal dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang Pangeran bernama Singaranu. Kedatangan pangeran bertujuan untuk mencari obat-obatan dari akar kayu.
Dalam perjalanan menyelusuri sungai dan hutan, tiba-tiba pangeran dan rombongan bertemu Seri Pinai dan kawan-kawannya yang sedang mandi. Pandangan ini menimbulkan perasaan saling mengagumi, hingga saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Seusai pernikahan, pasangan pengantin baru dan rombongan tadi bermaksud melanjutkan perjalanan ke Palembang. Dalam perjalanan mendekati muara sungai Kembiri, tiba-tiba datang angin ribut dan menenggelamkan perahu mereka hingga lenyaplah pangeran dan isterinya serta rombongan ditelan sungai.
Konon menurut kepercayaan masyarakat setempat pasangan tersebut menjelma menjadi sepasang buaya yang senantiasa muncul kepermukaan sungai pada musim-musim tertentu. Oleh sebab itulah apabila kemarau panjang, pada kegiatan upacara Nirok Nanggok (menangkap ikan dengan tombak dan "tanggok" sejenis keranjang yang dibuat dari rotan). Buaya tersebut terlebih dahulu harus dipindahkan sementara agar tidak menakuti penduduk dalam upacara tersebut. Buaya inipun seakan-akan menjadi penjaga wilayah perairan sungai ini dari kepunahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar