Seri Pinai (Legenda Rakyat)
Di selatan pulau Belitung, tepatnya Dusun Bantan Kecik Desa Kembiri
Kecamatan Membalong, yang letaknya berada ditepi sungai besar dan
dikelilingi hutan, hiduplah sepasang suami isteri bernama Tuk Pancor dan
Nek Pancor. Mata pencaharian mereka sehari-hari adalah bertani ladang.
Sambil menunggu panen tiba Tuk Pancor dan Nek Pancor serta masyarakat
desa lainnya turun ke sungai mencari ikan untuk lauk pauk. Pada musim
tertentu mereka juga pergi ke hutan untuk berburu rusa maupun kelinci.
Kegiatan ini senantiasa dilaksanakan secara beramai-ramai oleh seisi
kampung dengan penuh rasa kegotongroyongan dan kekeluargaan.
Namun demikian kedamaian dan kebahagiaan belum dapat
dirasakan oleh pasangan Tuk Pancor dan Nek Pancor, mengingat setelah
sekian lama berumah tangga pasangan ini belum dikarunai seorang anakpun.
Sementara kerinduan akan hadirnya seorang anak senantiasa menggangu
ketentraman hidup keluarga ini.
Suatu hari seusai panen, masyarakat turun ke sungai
untuk mencari ikan dan kerang. Namun sial bagi Tuk Pancor, setiap kali
jala dilempar maka bukan ikan yang didapat tetapi selalu sepotong bambu,
setiap kali bambu tersebut dibuang maka bambu itu pula yang menyangkut
bila jala ditarik, seakan-akan tidak mau lepas dari jala Tuk Pancor.
Dengan rasa kesal tanpa hasil, akhirnya Tuk Pancor pulang sambil membawa
bambu tersebut.
Ketika cuaca panas terik, Nek Pancor menjemur padi di
halaman rumahnya dan bambu yang dibawa Tuk Pancor dari menjala ikan
dimanfaatkan untuk menindih tikar penjemur padi agar tidak diterbangkan
angin. Cuaca cerah ini dimanfaatkan pula oleh Tuk Pancor dan masyarakat
kampung untuk berburu rusa ke dalam hutan. Dalam keheningan kampung
tiba-tiba Nek Pancor dikejutkan oleh suara petir ditengah hari. Suara
ini ternyata berasal dari bambu penindih jemuran padi yang pecah tanpa
sebab. Seiring dengan suara tersebut, tiba-tiba datang angin kencang dan
hujan badai. Setelah hujan badai reda, maka secara tiba-tiba pula
terdengar tangis bayi. Ternyata bayi tersebut berasal dari bambu yang
pecah dan terbelah yang dibawa oleh Tuk Pancor dari menjala ikan. Dengan
perasaan takut, heran dan takjub, Nek Pancor mendekati bayi tersebut.
Karena didorong kerinduan akan hadirnya seorang anak, maka bayi tersebut
yang ternyata bayi perempuan yang cantik dan sehat, dibawa masuk ke
rumah dan dibersihkan dari kotoran tanah dan lumpur serta diangkatnya
bayi itu menjadi anak.
Ketika Tuk Pancor dan rombongan pulang dari berburu,
maka diceritakanlah kejadiaan yang dialami oleh Nek Pancor tadi. Dengan
bangga dan penuh rasa kasih sayang, bayi inipun diberi nama Seri Pinai.
Setelah Seri Pinai tumbuh remaja tampak semakin cantik dan disenangi
oleh teman-teman sebayanya karena ia memiliki budi pekerti yang halus
dan suka menolong. Seiring dengan pergantian hari, maka Seri Pinaipun
tumbuh semakin dewasa.
Pada suatu hari datanglah rombongan perahu melewati
sungai Kembiri dan berlabuh ditepi sungai dekat Dusun Tuk Pancor.
Rombongan ini ternyata berasal dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin
oleh seorang Pangeran bernama Singaranu. Kedatangan pangeran bertujuan
untuk mencari obat-obatan dari akar kayu.
Dalam perjalanan menyelusuri sungai dan hutan,
tiba-tiba pangeran dan rombongan bertemu Seri Pinai dan kawan-kawannya
yang sedang mandi. Pandangan ini menimbulkan perasaan saling mengagumi,
hingga saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Seusai pernikahan,
pasangan pengantin baru dan rombongan tadi bermaksud melanjutkan
perjalanan ke Palembang. Dalam perjalanan mendekati muara sungai
Kembiri, tiba-tiba datang angin ribut dan menenggelamkan perahu mereka
hingga lenyaplah pangeran dan isterinya serta rombongan ditelan sungai.
Konon menurut kepercayaan masyarakat setempat
pasangan tersebut menjelma menjadi sepasang buaya yang senantiasa muncul
kepermukaan sungai pada musim-musim tertentu. Oleh sebab itulah apabila
kemarau panjang, pada kegiatan upacara Nirok Nanggok (menangkap ikan
dengan tombak dan "tanggok" sejenis keranjang yang dibuat dari rotan).
Buaya tersebut terlebih dahulu harus dipindahkan sementara agar tidak
menakuti penduduk dalam upacara tersebut. Buaya inipun seakan-akan
menjadi penjaga wilayah perairan sungai ini dari kepunahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar