Cerita Rakyat Belitung - Asal Usul Pulau Belitung
Belitung atau Belitong
(sejenis siput laut) adalah nama sebuah pulau tropis yang terletak di
lepas pantai timur Pulau Sumatra, bagian dari Provinsi Bangka-Belitung,
Indonesia. Menurut cerita, pulau yang bentuknya mirip kepala manusia ini
merupakan bagian semenanjung utara Pulau Bali yang terputus, lalu
hanyut terbawa arus gelombang menuju ke arah utara. Peristiwa apakah
yang menyebabkan Pulau Bali terputus? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam
cerita Asal Usul Pulau Belitung berikut ini.
* * *
Alkisah, di Pulau
Bali, Indonesia, hidup seorang raja yang adil dan bijaksana. Sang Raja
sangat disegani dan disayangi oleh rakyatnya. Apapun yang dititahkannya
pasti dipatuhi oleh rakyatnya. Raja tersebut mempunyai seorang gadis
yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai negeri.
Sudah banyak pemuda dan putra mahkota yang datang melamarnya, namun tak
satu pun lamaran mereka yang diterimanya.
Pada suatu hari,
seorang putra mahkota tampan dari kerajaan tetangga datang melamarnya.
Ia adalah putra dari sahabat karib ayahandanya. Namun, sang Putri tetap
menolak lamaran tersebut. Sang Raja dan Permaisuri sangat heran melihat
sikap putrinya itu.
“Permaisuriku! Ada
apa dengan putri kita? Kenapa setiap pelamar yang datang selalu
ditolaknya?” tanya sang Raja kepada permaisurinya.
“Entahlah, Kanda! Tapi, Dinda merasa putri kita sedang menyembunyikan sesuatu,” kata permaisuri.
“Kalau begitu, sebaiknya hal ini kita tanyakan langsung kepadanya,” kata sang Raja.
“Baiklah, Kanda. Biarlah Dinda yang bicara kepadanya mengenai hal ini,” sahut permaisuri.
Pada suatu sore, permaisuri melihat putrinya sedang duduk di kamarnya. Ia pun segera menghampirinya.
“Putriku! Mengapa Ananda selalu menolak lamaran yang datang?”
Mendengar
pertanyaan permaisuri, sang Putri hanya terdiam menunduk. Mulanya, ia
malu untuk mengungkapkan alasannya menolak lamaran tersebut. Namun
setelah didesak, dengan berat hati sang Putri pun menjawab:
“Maafkan Ananda,
Bunda! Bukannya Ananda tidak mau menerima lamaran mereka. Tapi, Ananda
merasa malu dengan penyakit yang sedang Ananda derita ini.”
“Penyakit apakah yang sedang Ananda derita? Kenapa Ananda tidak pernah bercerita kepada Bunda?” sang Permaisuri bertanya lagi.
Pertanyaan
permaisuri itu membuat sang Putri kembali terdiam. Ia tidak berani
menatap ibundanya. Melihat hal itu, sang Permaisuri pun memeluk putri
kesayangannya itu.
“Putriku! Penyakit apakah yang sedang Ananda derita? Ceritakanlah kepada Bunda!” bujuk permaisuri.
Sambil menangis terisak di pelukan ibundanya, sang Putri pun bercerita tentang keadaan penyakit yang ia derita.
“Ananda sedang mengidap penyakit kelamin, Bunda,” ungkap sang Putri.
Mendengar cerita
itu, Permaisuri pun mengerti dan merasa sedih atas nasib yang menimpa
putrinya. Ia pun segera menyampaikan berita buruk itu kepada Baginda
Raja.
“Kanda! Dinda sudah
tahu alasan kenapa putri kita selalu menolak setiap lamaran yang
datang. Rupanya, putri kita sedang mengidap penyakit kelamin,” kata
permaisuri.
Betapa terkejutnya
sang Raja mendengar berita itu. Ia bingung dan tidak tahu harus berbuat
apa. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Baginda Raja dan permaisuri
memutuskan untuk mengadakan sayembara. Barang siapa yang mampu
menyembuhkan penyakit sang Putri akan dinikahkan dengan sang Putri. Sang
Raja pun segera memerintahkan kepada hulubalang istana agar menyebarkan
pengumuman ke berbagai negeri.
Pada hari yang
telah ditentukan, berkumpullah para ahli pengobatan dari berbagai
penjuru untuk mengikuti sayembara tersebut. Satu per satu para ahli
tersebut dipanggil untuk mengobati penyakit sang Putri. Meskipun para
ahli tersebut telah mengeluarkan kemampuan dan kesaktian masing-masing,
namun tak seorang pun yang berhasil menyembuhkan penyakit sang Putri.
Putuslah harapan sang Raja dan permaisuri. Oleh karena khawatir penyakit
sang Putri akan menular kepada orang-orang di sekitarnya, akhirnya sang
Raja pun memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke tengah hutan di
semenanjung sebelah utara Pulau Bali.
Keesokan harinya,
setelah segala sesuatunya disiapkan, sang Putri pun diantar ke tempat
pengasingan. Ia diantar oleh sang Raja dan permaisuri beserta para
pembantu istana. Sesampainya di sana, sang Putri dibuatkan sebuah
pondokan untuk tempat tinggal. Setelah itu, sang Putri pun ditinggal
bersama anjing peliharaannya yang bernama Tumang. Sebelum kembali ke
istana, permaisuri berusaha membujuk dan menenangkan hati putrinya.
“Maafkan kami,
Putriku! Ayahanda dan Bunda terpaksa meninggalkan Nanda sendirian di
sini hingga penyakit Ananda sembuh. Ananda tidak usah khawatir, sesekali
waktu Bunda akan mengutus beberapa orang pengawal istana untuk
mengantarkan makanan dan segala keperluan Ananda selama tinggal di
sini,” ujar permaisuri kepada putrinya.
“Baiklah, Bunda!
Demi keselamatan orang lain, Nanda rela tinggal di sini. Lagi pula,
Ananda sudah ditemani oleh si Tumang,” kata sang Putri.
Setelah memohon
kepada Tuhan Yang Mahakuasa untuk perlindungan sang Putri, dengan
perasaan sedih sang Raja dan permaisuri beserta rombongannya pergi
meninggalkan tempat tersebut.
Selama berada di
dalam hutan itu, sang Putri selalu ditemani oleh anjing kesayangannya ke
mana pun ia pergi. Pada suatu hari, ketika sang Putri sedang buang air
kecil, si Tumang menjilat air kencing sang Putri. Bahkan si Tumang juga
menjilat sisa-sisa air kencing yang masih melekat di kemaluan sang
Putri. Melihat hal itu, sang Putri tetap membiarkannya. Kejadian seperti
itu berlangsung hampir setiap kali sang Putri buang air kecil.
Setelah beberapa
bulan berada di tempat itu, sang Putri mulai merasa kesepian. Sebagai
seorang gadis yang sedang mengalami kasmaran yang menggelora, tentu ia
mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Ketika asmaranya
semakin menggelora dan tak mampu lagi menahannya, akhirnya sang Putri
pun melampiaskan nafsunya kepada anjing kesayangannya. Kebiasaan sang
Putri membiarkan anjingnya menjilat kemaluannya setiap selesai buang air
kecil berubah menjadi hubungan kelamin, hingga akhirnya sang Putri
mengandung. Namun, saat itu pula terjadi suatu keanehan. Penyakit yang
diderita sang Putri berangsur sembuh.
Pada suatu hari,
utusan dari istana datang mengantarkan makanan dan keperluan untuk sang
Putri. Betapa terkejutnya para utusan tersebut ketika melihat perut sang
Putri yang sudah membesar.
“Ampun, Tuan Putri! Apa yang sedang menimpa Tuan Putri, kenapa perut Tuan Putri menjadi besar begitu?” tanya seorang utusan.
Mulanya, sang Putri
enggan untuk menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Setelah
didesak, akhirnya ia pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah
dilakukannya dengan si Tumang. Ia juga bercerita bahwa sejak
berhubungan dengan si Tumang, penyakit kelaminnya berangsur sembuh.
Mendengar
pernyataan sang Putri, para utusan itu pun segera kembali ke istana
untuk menyampaikan berita tersebut kepada sang Raja. Mulanya sang Raja
sangat senang ketika mendengar penyakit putrinya telah sembuh. Namun,
alangkah terkejutnya sang Raja ketika mendengar putrinya telah
berhubungan badan dengan si Tumang. Mendengar kabar buruk itu, sang Raja
bagaikan disambar petir. Ia benar-benar tidak pernah menyangka
sebelumnya jika putrinya akan melakukan perbuatan yang sangat memalukan
itu. Ia pun menjadi murka dan tidak menerima perbuatan putrinya yang
telah mencemarkan nama baik keluarga istana.
Pada suatu malam, Sang Raja mensucikan diri dan memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar menghukum putrinya.
“Ya, Tuhan! Berilah
hukuman kepada putriku yang telah melanggar perintahmu! Hancurkanlah
tempat di mana Putriku telah melakukan perbuatan tercela!”
Doa sang Raja pun
dikabulkan. Beberapa hari kemudian, hujan deras disertai angin sangat
kencang datang menerjang. Tidak berapa lama kemudian, bumi pun bergetar
sehingga semenanjung Pulau Bali tempat sang Putri diasingkan itu
terputus dan hanyut menuju ke arah utara.
Nun jauh di sana,
di tengah laut lepas sebelah timur Pulau Sumatra, dua orang nelayan yang
bernama Datuk Malim Angin dan Datuk Langgar Tuban sedang memancing ikan
dengan menggunakan perahu sampan. Di tengah sedang asyik memancing,
tiba-tiba mereka dikejutkan sebuah pemandangan yang aneh. Datuk Malim
Angin melihat sebuah pulau sedang hanyut dan melintas tidak jauh dari
tempat mereka memancing. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera mengayuh
sampan dan mengejar pulau itu. Ketika berhasil mencapai salah satu
bagian pulau tersebut, Datuk Malim Angin pun segera mengambil sebuah
tali sauh dan mengikatkannya pada sebatang pohon yang ada di kaki sebuah
gunung, kemudian melemparkan jangkarnya yang telah diikatkan pada ujung
tali itu ke dasar laut. Beberapa saat kemudian, pulau itu pun berhenti
dan tidak hanyut lagi.
Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, gunung tempat Datuk Malim Angin menambatkan tali
sauhnya disebut dengan Gunung Baginde yang kini terletak di Kampung
Padang Kandis, Membalong, Belitung. Sementara pulau yang hanyut itu,
masyarakat setempat menyebutnya Pulau Belitong, yang berasal dari kata
Bali terpotong. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Belitung.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Pulau Belitung
dari daerah Provinsi Bangka-Belitung, Indonesia. Cerita di atas
termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral
yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran dari perbuatan
lengah dan tidak mampu menahan hawa nafsu, sebagaimana yang dialami oleh
sang Putri. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
ingat hidup banyak godaan
di kiri iblis di kanan setan
nafsu menanti di dalam badan
selera menunggu di angan-angan
bila lengah hidup mengenyam
bila lalai rusaklah iman
(Samsuni/sas/121/01-09)
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Salim Y.A.H. dan H. Suwardi. 1996. Cerita Rakyat dari Belitung. Jakarta: Grasindo.
Belitungku.com
Belitung News and Entertainment Online,
Portal Berita Belitung dan Hiburan secara Online.
ok mantap
BalasHapus