Hikayat Tuk Kundo
Sekitar kilometer 30 dari
Tanjungpandan menuju Kelapa Kampit, terdapat terdapat sebuah kampung bernama
Parit Gunong. Berjarak 300 meter dibelakang kampung yang terletak di kaki
Gunung Tajam ini, terdapat sebuah kuburan Islam, dimana salah satunya adalah Makam
Datu’ Kundo. Beliau adalah salah satu dari murid Syekh Said Husein Abdullah,
penyebar Agama Islam di Belitung.
Diceritakan ketika Tu’ Kundo datang
ke daerah ini, kehidupan penduduknya masih
diliputi suasana animisme. Tidak ada suasana Islam sama sekali. Sehari-hari,
selain dari hasil buruan pelanduk, rusa dan burung, penduduk masih memakan
lutong, kera serta Gadog (babi hutan, red.).
Dalam suasana dan situasi seperi itulah Tu’ kundo dengan penuh semangat mcnyebarkan Agama Islam. Dalam riwayatnya tak diketahui asal-usulnya, apakah pendatang dari luar pulau atau penduduk setempat yang berguru pada Syekh Said Husein Abdullah. Namun, umum mengakui Tu‘ kundo sebagai penyebar Islam paling berhasil di antara tujuh murid Syekh Said Husein Abdullah.
Dalam suasana dan situasi seperi itulah Tu’ kundo dengan penuh semangat mcnyebarkan Agama Islam. Dalam riwayatnya tak diketahui asal-usulnya, apakah pendatang dari luar pulau atau penduduk setempat yang berguru pada Syekh Said Husein Abdullah. Namun, umum mengakui Tu‘ kundo sebagai penyebar Islam paling berhasil di antara tujuh murid Syekh Said Husein Abdullah.
Di kampung Parit
Gunong ini, Tu’ Kundo menetap di pondok Mak Gadog, seorang janda yang memiliki
gadis yang menginjak dewasa. Suatu hari datanglah lamaran untuk putri Mak
Gadog. Karena tak ada keluarga yang ditunggu serta tak ada yang diajak
bermusyawarah lagi, Mak Gadog pun menyetujui lamaran tersebut.
Setelah lamaran diterirna,
dipersiapkanlah segala sesuatu yang berhubungan dengan acara kenduri yang akan
dilaksanakan sesudah panen Mak Gadog tahun ini.jadi untuk persiapan, beras
sudah tak ada persoalan lagi, tinggal lagi lauk-pauk kundangan. Maka Mak
Gadogpun berusaha untuk mencari ikan d sungai dengan memasang tekalak.
Perangkap ikan ini terbuat dan bambu yang dianyam berhentuk seperti terornpet
dengan bagian depan agak kecil dan membesar pada bagian badan lalu mengecil
lagi pada bagian belakang. Pemasangannya, bagian depan diletakkan menghadap
arus air, hingga ikan yang yang masuk dan terkurung di bagian tengah namun tak
bisa keluar lewat belakang karena ukurannya kecil.
Namun, ketika memasang tekalak,
keberuntungan nampak masih
belum berpihak pada Mak Gadog. Ditemani Tu’ Kundo, setiap malam mau mengambil
ikan selalu saja tekalak-nya kosong melompong.
Pada suatu malam, tu’ Kundo datang
seorang diri ke tempat Mak Gadog memasang tekalak. Tu’ Kundo curiga,
kalau-kalau ikan dalam tekalak telah terlebih dulu diambil orang lain.
kira-kira menjelang subuh tiba-tiba Tu’ Kundo melihat kelabat sebuah bayangan
mendekati tekalak Mak gadog. Di tangan bayangan itu nampak benda berkilat
memancarkan sinar warna keemasan. Melihat bayangaan itu, Tu’ Kundo segera
bersembunyi dibalik sebuah pohon besar tak jauh dari tekalak Mak Gadog, sambil
memperhatikan sosok dibalik bayangan tersebut.
Setelah diamati dengan seksama, Tu’
Kundo bisa melihat jelas bayangan tersebut. Yang ternyata seorang tua berbaju
putih memegang sebuah tongkat berwarna keemasan. Yakin dengan apa yang
diamatinya, segera Tu’ Kundo menyerang, karena mengira pastilah orang tua
tersebut yang selama ini mencuri ikan-ikan dalam tekalak Mak Gadog. Rupanya
kakek tua itu bukan sembarang orang. Kendati sempat melakukan perlawanan ia
akhirnya bisa dikalahkan Tu’ Kundo. Namun belum sempat Tu’ Kundo membunuhnya,
tiba-tiba kakek tua itu berkata, “Nak jangan kite lanjutkan perkelahian ini.
Jangan ade di antare kite nok harus mati, sebab kan ngerugikan kite sendiri.
Sekarang, gini saja’ Sebutkan ape saja’ nok kau endake, semue pasti kan
kukabulkan.”
Tu’ Kundo heran dengan perkataan
orang tua ini. Sebab terdengar seperti bukan orang sembarangan. Kanena itu
diputuskanlah untuk tidak membunuhnya. Kepada orang tua itu Tu’ Kundo hanya
minta nani mulut. “Kek, beri’ aku nani mulut,” ujar Tu’ Kundo.
Mendengar permintaan Tu’ Kundo,
orang tua itu kembali bertanya, “untuk ape kau minta nani mulut, nak?”
“Untuk ngembantu’ ngalakan
urang-urang nok nyalae’ aturan dan ndak nurut kan aturan agama kamek,” jawab
Tu’ Kundo.
Mendengar jawab Tu’ Kundo, orang
tua itupun membuka mulut Tu’ Kundo dan meludahinya sebanyak lima kali. Setelah
itu, orang tua itu pun menghilang seiring datangnya pagi.
Ketika hari sudah semakin terang, Tu’
Kundo segera mengambil ikan dari tekalak Mak gadog. hari itu karena datang
lebih dulu, Tu’ Kundo berhasil membawa ikan banyak sekali. Dalam perjalanan
pulang Tu’ Kundo mencoba apa yang telah didapatnya dari orang tua tadi.
Diarahkan pandangannya pada burung yang sedang berkicau, sambil berkata, “Sine’
kau burong” ajaib, semua burung yang dipanggil Tu’ Kundo terbang ke arahnya dan
hinggap di pundak, hingga membuatnya kewalahan. Rupanya, kata Tu’ Kundo dalam
hati, betul apa yang dikatakan orang tentang kehebatan seseorang yang memiliki
nani mulut. Kalau begitu, fikir Tu’ Kundo, lebih baik ku musnahkan saja kera
dan lutong di pohon-pohon yang ada di hutan ini. Sebab, masih banyak penduduk
yang telah memeluk agama Islam saat itu yang memakan kera dan lutong.
Karena itu setiap melalui pohon
yang dihuni kera dan lutong di sepanjang perjalanannya pulang Tu’ Kundo selalu
berteriak “Matilah mika’ semue !” Usai berkata demikian serempak kera dan
lutong yang ada di pohon berjatuhan ke tanah. Mati karena tuah nani milut Tu’
Kundo.
Setibanya di rumah, Tu’ Kundo
menyerahkan semua ikan basil tangkapannya kepada Mak Gadog. Namun, ia tidak
menceritakan pertemuannya dengan orang tua di dekat tekalak Mak Gadog.
Sebenarnya dengan Mak Gadog ini, Tu’ Kundo merasa berhutang budi, karena telah menyediakannya tempat tinggal. Tapi menghadapi Mak Gadog ini sangat hati—hati dan tidak mau
buru-buru meng-Islamkan-nya. Akhirnya, dengan kesabaran dan caranya sedikit demi sedikit Tu’ Kundo bisa mengajak Mak Gadog ke jalan Islam. Bahkan, ketika kendurian anaknya, Tu’ Kundo bisa meminta Mak Gadog untuk tidak menyediakan makanan yang diharamkan, seperti gadog, kera dan lutong.
Sebenarnya dengan Mak Gadog ini, Tu’ Kundo merasa berhutang budi, karena telah menyediakannya tempat tinggal. Tapi menghadapi Mak Gadog ini sangat hati—hati dan tidak mau
buru-buru meng-Islamkan-nya. Akhirnya, dengan kesabaran dan caranya sedikit demi sedikit Tu’ Kundo bisa mengajak Mak Gadog ke jalan Islam. Bahkan, ketika kendurian anaknya, Tu’ Kundo bisa meminta Mak Gadog untuk tidak menyediakan makanan yang diharamkan, seperti gadog, kera dan lutong.
Jadilah akhirnya Tu’ Kundo sebagai
juru bicara Mak Gadog setiap ada tamu yang menanyakan tetang makanan kepada Mak
Gadog “Mak Gadog ndak ade nyediakan nok ini agi’. Mun gi’ tadi’ se mimang
banyak panggang gadog, kera kan lutong,” kata Tu’ Kundo kepada setiap tamu Mak
Gadog.
Hingga akhirnya satu di antara
undangan Mak Gadog berkomentar, “Mak Gadog ne mimang la beruba andang-andangan
ini. Biasenye belau ne ndak keabisan nok itu te’. Tapi kitu te nda’ bagi’
barang sekerubitan.”
Mendengar komentar tamunya, Mak
Gadog pun menyahut, “Sebenare aku tu ndak ade agik ko kan nok kitu. La
kukaperkan semuenye.”
Lalu Tu’ Kundo pun menyambung, ”
Mun Mak la ngaperkannye, make gadog, kera, lutong tadi’ jadi kaper semuenye.”
Rupanya kejadian pada selamatan
anak Mak Gadog secara perlahan telah membuka hati penduduk Parit
Gunong untuk mengikuti ajaran Islam.
Sementara, oleh Tu’ Kundo,
cara-cara menyebarkan islam seperti di rumah Mak Gadog dikembangkan sebagai
model dalam penyebaran agama Islam di daerah-daerah lain di kemudian hari.
Setiap turun ke keleka’, dusun, kampung, ume, gunung dan lembahnye sekitar
tempat tinggalnya dan wilayah sekitar tak pernah ada pemaksaan oleh Tu’ Kundo
kepada penduduk, tapi dengan memanfaatkan situasi yang sedang terjadi di
masyarakat. Hingga dalam syiarnya tidak pernah terjadi konflik masyarakat yang
di—Islam—kaunya. Malah, dengan caranya itu, Tu’ Kundo jadi sangat populer di
masyarakat.
Singkat cerita, setelah Usianya
bertambah tua, Tu’ Kundo menghabiskan sisa hidupnya dengan mcnjadi imam jamaah
mesjid Mesjid Air Batu Buding. Di situlah beliau menjadi guru mengaji sekaligus
tempat bertanya masyarakat tentang segala yang berkaitan dengan Islam. Malah,
menurut sebuah sumber, ada sebuah kitab suci Al Quran yang hurufnya sebesar
jari kelingking bayi. Kitab suci tersebut dikenal dengan Al Quran Tu’ Kundo.
Di akhir hayatnya, Tu’ Kundo oleh
masyarakat dimakamkan di sebuah pekuburan di Kampung Parit Gunong. Tak ada yang
istimewa dengan makam beliau. Bentuknya sama seperti makam yang lain. Tapi oleh
kuncen makam Tu’ Kundo, dipercava bahwa beliaulah yang hingga saat ini menjadi
semacam penjaga penduduk Parit Gunong, terutama hal-hal yang menyimpang dari
ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar