Terjemahan

Senin, 30 Maret 2015

Hikayat Tuk Kundo

Hikayat Tuk Kundo

Sekitar kilometer 30 dari Tanjungpandan menuju Kelapa Kampit, terdapat terdapat sebuah kampung bernama Parit Gunong. Berjarak 300 meter dibelakang kampung yang terletak di kaki Gunung Tajam ini, terdapat sebuah kuburan Islam, dimana salah satunya adalah Makam Datu’ Kundo. Beliau adalah salah satu dari murid Syekh Said Husein Abdullah, penyebar Agama Islam di Belitung.
Diceritakan ketika Tu’ Kundo datang ke daerah ini, kehidupan penduduknya masih diliputi suasana animisme. Tidak ada suasana Islam sama sekali. Sehari-hari, selain dari hasil buruan pelanduk, rusa dan burung, penduduk masih memakan lutong, kera serta Gadog (babi hutan, red.).
Dalam suasana dan situasi seperi itulah Tu’ kundo dengan penuh semangat mcnyebarkan Agama Islam. Dalam riwayatnya tak diketahui asal-usulnya, apakah pendatang dari luar pulau atau penduduk setempat yang berguru pada Syekh Said Husein Abdullah. Namun, umum mengakui Tu‘ kundo sebagai penyebar Islam paling berhasil di antara tujuh murid Syekh Said Husein Abdullah.
Di kampung Parit Gunong ini, Tu’ Kundo menetap di pondok Mak Gadog, seorang janda yang memiliki gadis yang menginjak dewasa. Suatu hari datanglah lamaran untuk putri Mak Gadog. Karena tak ada keluarga yang ditunggu serta tak ada yang diajak bermusyawarah lagi, Mak Gadog pun menyetujui lamaran tersebut.
Setelah lamaran diterirna, dipersiapkanlah segala sesuatu yang berhubungan dengan acara kenduri yang akan dilaksanakan sesudah panen Mak Gadog tahun ini.jadi untuk persiapan, beras sudah tak ada persoalan lagi, tinggal lagi lauk-pauk kundangan. Maka Mak Gadogpun berusaha untuk mencari ikan d sungai dengan memasang tekalak. Perangkap ikan ini terbuat dan bambu yang dianyam berhentuk seperti terornpet dengan bagian depan agak kecil dan membesar pada bagian badan lalu mengecil lagi pada bagian belakang. Pemasangannya, bagian depan diletakkan menghadap arus air, hingga ikan yang yang masuk dan terkurung di bagian tengah namun tak bisa keluar lewat belakang karena ukurannya kecil.
Namun, ketika memasang tekalak, keberuntungan nampak masih belum berpihak pada Mak Gadog. Ditemani Tu’ Kundo, setiap malam mau mengambil ikan selalu saja tekalak-nya kosong melompong.
Pada suatu malam, tu’ Kundo datang seorang diri ke tempat Mak Gadog memasang tekalak. Tu’ Kundo curiga, kalau-kalau ikan dalam tekalak telah terlebih dulu diambil orang lain. kira-kira menjelang subuh tiba-tiba Tu’ Kundo melihat kelabat sebuah bayangan mendekati tekalak Mak gadog. Di tangan bayangan itu nampak benda berkilat memancarkan sinar warna keemasan. Melihat bayangaan itu, Tu’ Kundo segera bersembunyi dibalik sebuah pohon besar tak jauh dari tekalak Mak Gadog, sambil memperhatikan sosok dibalik bayangan tersebut.
Setelah diamati dengan seksama, Tu’ Kundo bisa melihat jelas bayangan tersebut. Yang ternyata seorang tua berbaju putih memegang sebuah tongkat berwarna keemasan. Yakin dengan apa yang diamatinya, segera Tu’ Kundo menyerang, karena mengira pastilah orang tua tersebut yang selama ini mencuri ikan-ikan dalam tekalak Mak Gadog. Rupanya kakek tua itu bukan sembarang orang. Kendati sempat melakukan perlawanan ia akhirnya bisa dikalahkan Tu’ Kundo. Namun belum sempat Tu’ Kundo membunuhnya, tiba-tiba kakek tua itu berkata, “Nak jangan kite lanjutkan perkelahian ini. Jangan ade di antare kite nok harus mati, sebab kan ngerugikan kite sendiri. Sekarang, gini saja’ Sebutkan ape saja’ nok kau endake, semue pasti kan kukabulkan.”
Tu’ Kundo heran dengan perkataan orang tua ini. Sebab terdengar seperti bukan orang sembarangan. Kanena itu diputuskanlah untuk tidak membunuhnya. Kepada orang tua itu Tu’ Kundo hanya minta nani mulut. “Kek, beri’ aku nani mulut,” ujar Tu’ Kundo.
Mendengar permintaan Tu’ Kundo, orang tua itu kembali bertanya, “untuk ape kau minta nani mulut, nak?”
“Untuk ngembantu’ ngalakan urang-urang nok nyalae’ aturan dan ndak nurut kan aturan agama kamek,” jawab Tu’ Kundo.
Mendengar jawab Tu’ Kundo, orang tua itupun membuka mulut Tu’ Kundo dan meludahinya sebanyak lima kali. Setelah itu, orang tua itu pun menghilang seiring datangnya pagi.
Ketika hari sudah semakin terang, Tu’ Kundo segera mengambil ikan dari tekalak Mak gadog. hari itu karena datang lebih dulu, Tu’ Kundo berhasil membawa ikan banyak sekali. Dalam perjalanan pulang Tu’ Kundo mencoba apa yang telah didapatnya dari orang tua tadi. Diarahkan pandangannya pada burung yang sedang berkicau, sambil berkata, “Sine’ kau burong” ajaib, semua burung yang dipanggil Tu’ Kundo terbang ke arahnya dan hinggap di pundak, hingga membuatnya kewalahan. Rupanya, kata Tu’ Kundo dalam hati, betul apa yang dikatakan orang tentang kehebatan seseorang yang memiliki nani mulut. Kalau begitu, fikir Tu’ Kundo, lebih baik ku musnahkan saja kera dan lutong di pohon-pohon yang ada di hutan ini. Sebab, masih banyak penduduk yang telah memeluk agama Islam saat itu yang memakan kera dan lutong.
Karena itu setiap melalui pohon yang dihuni kera dan lutong di sepanjang perjalanannya pulang Tu’ Kundo selalu berteriak “Matilah mika’ semue !” Usai berkata demikian serempak kera dan lutong yang ada di pohon berjatuhan ke tanah. Mati karena tuah nani milut Tu’ Kundo.
Setibanya di rumah, Tu’ Kundo menyerahkan semua ikan basil tangkapannya kepada Mak Gadog. Namun, ia tidak menceritakan pertemuannya dengan orang tua di dekat tekalak Mak Gadog.
Sebenarnya dengan Mak Gadog ini, Tu’ Kundo merasa berhutang budi, karena telah menyediakannya tempat tinggal. Tapi menghadapi Mak Gadog ini sangat hati—hati dan tidak mau
buru-buru meng-Islamkan-nya. Akhirnya, dengan kesabaran dan caranya sedikit demi sedikit Tu’ Kundo bisa mengajak Mak Gadog ke jalan Islam. Bahkan, ketika kendurian anaknya, Tu’ Kundo bisa meminta Mak Gadog untuk tidak menyediakan makanan yang diharamkan, seperti gadog, kera dan lutong.
Jadilah akhirnya Tu’ Kundo sebagai juru bicara Mak Gadog setiap ada tamu yang menanyakan tetang makanan kepada Mak Gadog “Mak Gadog ndak ade nyediakan nok ini agi’. Mun gi’ tadi’ se mimang banyak panggang gadog, kera kan lutong,” kata Tu’ Kundo kepada setiap tamu Mak Gadog.
Hingga akhirnya satu di antara undangan Mak Gadog berkomentar, “Mak Gadog ne mimang la beruba andang-andangan ini. Biasenye belau ne ndak keabisan nok itu te’. Tapi kitu te nda’ bagi’ barang sekerubitan.”
Mendengar komentar tamunya, Mak Gadog pun menyahut, “Sebenare aku tu ndak ade agik ko kan nok kitu. La kukaperkan semuenye.”
Lalu Tu’ Kundo pun menyambung, ” Mun Mak la ngaperkannye, make gadog, kera, lutong tadi’ jadi kaper semuenye.”
Rupanya kejadian pada selamatan anak Mak Gadog secara perlahan telah membuka hati penduduk Parit Gunong untuk mengikuti ajaran Islam.
Sementara, oleh Tu’ Kundo, cara-cara menyebarkan islam seperti di rumah Mak Gadog dikembangkan sebagai model dalam penyebaran agama Islam di daerah-daerah lain di kemudian hari. Setiap turun ke keleka’, dusun, kampung, ume, gunung dan lembahnye sekitar tempat tinggalnya dan wilayah sekitar tak pernah ada pemaksaan oleh Tu’ Kundo kepada penduduk, tapi dengan memanfaatkan situasi yang sedang terjadi di masyarakat. Hingga dalam syiarnya tidak pernah terjadi konflik masyarakat yang di—Islam—kaunya. Malah, dengan caranya itu, Tu’ Kundo jadi sangat populer di masyarakat.
Singkat cerita, setelah Usianya bertambah tua, Tu’ Kundo menghabiskan sisa hidupnya dengan mcnjadi imam jamaah mesjid Mesjid Air Batu Buding. Di situlah beliau menjadi guru mengaji sekaligus tempat bertanya masyarakat tentang segala yang berkaitan dengan Islam. Malah, menurut sebuah sumber, ada sebuah kitab suci Al Quran yang hurufnya sebesar jari kelingking bayi. Kitab suci tersebut dikenal dengan Al Quran Tu’ Kundo.
Di akhir hayatnya, Tu’ Kundo oleh masyarakat dimakamkan di sebuah pekuburan di Kampung Parit Gunong. Tak ada yang istimewa dengan makam beliau. Bentuknya sama seperti makam yang lain. Tapi oleh kuncen makam Tu’ Kundo, dipercava bahwa beliaulah yang hingga saat ini menjadi semacam penjaga penduduk Parit Gunong, terutama hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar