Kisah Dongeng Tuk Burod
Cerita ini merupakan salah satu
dari dua versi lain tentang Padang Buang Anak, sebuah hamparan padang tandus
tanpa ditumbuhi pohon besar yang seluas mata memandang hanya ditumbuhi rumput
setinggi lutut orang dewasa, terletak di sekitar kaki Gunung Tajam ke arah Air
Batu Buding, Kelapa Kampit. Namun, dari dua versi yang ada, dongeng Tu’ Burod
lahir lebih dulu, sebab ia menceritakan tentang asal kejadian suatu tempat,
bukan asal penyebutan satu tempat. Ceritanya bermula di saat penduduk Belitung
masih banyak memukimi daerah hutan di hulu-hulu sungai, guna menghindarkan para
lanun. Dalam kondisi demikian, di sebuah keleka’ (kampung kecil,
red.) di sekitar kaki Gunung Tajam sekarang, terdapatlah satu
keluarga besar. Keluarga itu memiliki beberapa orang anak perempuan yang telah
kawin dengan laki-laki dari keleka’ tetangganya. Salah satunya bernama Burod.
Dibanding para menantu yang ada, Burod memiliki tabiat berbeda. Ia dikenali
sebagai pemuda yang malas. Kehidupan keluarga besar tersebut terbilang cukup
sederhana.
Sehari-hari mereka sepenuhnya
tergantung pada alam, dari berladang di ume, berburu hewan di hutan dan
menangkap ikan di kubok-kubok sekitar daerah tersebut. Seperti kebanyakan
penduduk pada masa itu, di satu akhir musim panas menjelang musim penghujan, penduduk
keleka’ mulai nebas (menebang pohon untuk dibakar sebagai
persiapan awal membuka ladang, red.). Hal sama
juga dilakukan keluarga besar Burod. Dipimpin sang mertua, Burod dan ipar-ipar
yang lain berangkat ke hutan yang telah dibagikan dukun (kepala adat) secara
merata. Setiap orang rata-rata mendapat bagian 20 surik atau setara dengan dua
hektar (satu surik = 10 X 10 meter, red.). Dari pembagian
tersebut tanah Burod berada paling ujung dari seluruh kawasan ume yang akan
digarap. Singkat cerita karena musim kemarau sudah hampir habis, semua penduduk
dan ipar-ipar Burod sudah selesai nebas pohon di ume masing-masing.
Namun tidak demikian halnya dengan
Burod. Setiap hari kerjaannya hanya duduk-duduk sambil makan makan sangu berupa
rebus kembilik (umbi-umbian berukuran seujung jari kaki hingga
seujung jempol, red.). Sambil mengunyah rebus kembili’ ia
berkhayal menebangi pohon di depannya. Sesudah menebang pohon ini, lalu ke
pohon itu dan seterusnya, ia berkhayal. Di ujung khayalnya rebus kembili’ pun
habis, sementara tak satu pohon pun yang telah ia tebang, sementara semua orang
di keleka’ itu telah selesai nebas. Melihat kelakuan menantunya itu sang mertua
pun menegurnya. “Rod, Rod, malas benar kau ne. Kerjaannye nggak ngabise’ rebus
kembili’ sangu. Mane tebasan kau? Urang la uda, kau lum ape-ape. Sebile kan
nebase Rod!?,” tegur mertuanya. “Tunggu suat pak, aku ngabise’ sangu ne dulu,”
jawab Burod tak senang ditegur mertuanya. Sejenak kemudian, setelah
menghabiskan sangu rebus kembili’-nya, ia pun bergegas mengambil parang dan
berjalan ke hutan yang menjadi bagiannya. Di pinggir hutan itu ia berbicara
pada parangnya, “Nah, parang. Kalu’ kau mimang nurut kan aku, tige kali tetak (ayunan,
red.) kau musti ngabiskan utan seluas pandangan mate aku!”
Usai berkata demikian ia pun segera mengayunkan parangnya tiga kali.
Aneh bin ajaib, sekejap kemudian
semua pohon yang ada di hadapannya habis rebah semua. Semua yang melihat
tindakan Burod jadi heran.Dan, salah satu ipar Burod berujar, “Inila akhirnye.
Aya becakap nyinggong perasaan die, jadi die mara.” Mendengar percapakan itu
Burod hanya bergeming. Sejurus kemudian ia pulang, diiringi mertua dan
ipar-iparnya. Setelah kejadian itu seminggu lamanya keluarga besar itu
beristirahat total. Agar udah dibakar, mereka harus menunggu kayu-kayu tebangan
tersebut kering dulu. Pada minggu berikutnya, setelah semua kayu itu kering,
kayu-kayu tebangan tersebut pun dibakar dengan menyisakan reba’ (rebahan
pohon kayu yang tidak terbakar, red.) di sana-sini. Reba’
itupun kemudian segera dikumpulkan. Sebagian besar digunakan sebagai pembatas
surik-surik di ume masing-masing. Berbeda dengan ipar-iparnya, Burod sama
sekali tak terlihat sibuk. Bukannya membakar potongan pohon bekas tebangannya,
ia malah tidur pulas di membarongan (pondok di ume baru,
red.) miliknya. Melihat kondisi itu tak ada satu pun ipar-iparnya yang
berani membangunkannya. Mereka takut ngomong salah. Menjelang sore barulah
Burod dibangunkan dan pulang beriringan. Malam harinya, sambil duduk-duduk di
ruang tengah mertuanya, keluarga besar ini membicarakan proses berikutnya,
yaitu nugal (menanam bibit padi di tanah, red.).
Lazimnya nugal dilakukan dengan cara menancapkan kayu runcing ke tanah yang
sudah diberi batas reba’ per surik.
Sedianya keluarga besar ini selalu
mengawali ladang
secara bersama-sama. Cuma, kali ini muncul masalah. Ume belum bisa ditugal.
Biang keroknya Burod. Bekas tebangan pohon di bagian ume miliknya belum
dibakar. Mendengar ia dimasalahkan keluarganya dan dianggap sebagai biang kerok
keterlambatan Burod pun angkat bicara. “La, isok la baru aku nunu. Mika’ tau
beres la, usa gado, kite pasti serete nugal maupun ngetamnye kelak,” tegas
Burod. Mendengar kepastian dari Burod, mereka pun segera mengakhiri pertemuan
keluarga itu, lalu beristirahat. Keesokan paginya, tanpa diduga-duga, turun
hujan. Walau tidak lebat, cukup untuk membatalkan rencana Burod membakar
tebangan di lahan ume miliknya. Gusar melihat Burod yang tenang-tenang saja,
sang mertua menegur Burod. “Kiape kau kan nunu mun ari ujan macam ini Rod!?,”
sergah mertuanya ketus. Ditegur begitu, sambil menggeliatkan badannya di atas
tikar pembaringan Burod pun menjawab, “Ikam diam saja’ Pak. Ikam dudok saja’ de
ruma ne.” Setelah itu ia pun segera berdiri, mencuci muka dan melampun
(sarapan pagi, red.). Usai melampun, Burod menyambar
parang dan topi pandan miliknya. Tak lama kemudian dari belakang rumah ia
menebang sebatang pohon pisang paling besar yang belum berbuah dan dibawanya
masuk ke dapur. Setelah disulut dengan api dapur, Burod pun menjadikan pohon
pisang yang telah menyala cukup besar itu sebagai obor untuk membakar kayu
humanya.
Sambil berjalan setenang-tenangnya
Burod segera menuju pinggir hutan bagiannya. Sesampai di pinggir hutan itu,
dengan lantang ia berkata, “Nah, api. Kalu’ kau mimang bekawan kan aku, kau
makan la kayu setinggi nok dapat kau bedan sedalam nok dapat kau makan!”
Sekejap kemudian terbakarlah kayu tebangan Burod di tengah hujan pagi itu. Tak
satupun kayu yang dapat bertahan dari hantaman api Burod. Bahkan, humus-humus
atau kayu-kayu dan daun-daun kering di tanah sedalam satu meter termakan habis
musnah. Malah sampai ke akar-akar tunggul di dalam tanah. Sehabis hutan itu
terbakar oleh api Burod, yang tersisa adalah asap mengepul dan tanah huma Burod
hangus total. Saking hangusnya hingga tak ada lagi bagian tanah yang dapat
ditumbuhi padi. Alkisah Burod tak bisa nugal karena tanahnya, bukan saja kayu
tebangannya, turut terbakar. Itulah sebabnya sampai sekarang Kawasan Padang
Buang Anak tidak ditumbuhi oleh kayu besar. Menurut cerita yang berkembang turun
temurun, karena kehebatannya itulah, kemudian hari Tu’ Burod mengubah jalan
hidupnya yang malas itu. Pada setiap musim menanam padi dimulai, sebelumnya Tu’
Burod selalu disibukkan dengan panggilan untuk menjadi buruh upahan menebas dan
membakar tebasan tersebut. Konon kabarnya hutan tebasan dan garapan Burod
selalu menghasilkan padi yang melebihi padi garapan orang lain. Dan, upah kerja
bagi Burod bukannya barang mewah, tetapi hanya nasi anyam, alias kerak nasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar