Terjemahan

Kamis, 26 Maret 2015

Cerita Rakyat Si Kelingking

Cerita rakyat Belitung - Si Kelingking

Belitung yang dulu dikenal dengan Billiton adalah nama sebuah pulau di Provinsi Bangka Belitung, Indonesia. Pulau yang terletak di bagian timur Sumatra ini terbagi menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Belitung dan Belitung Timur. Di pulau ini beredar sebuah cerita rakyat tentang sepasang suami-istri yang hendak membunuh anaknya. Berbagai cara telah mereka lakukan untuk membunuh anaknya, namun tidak pernah berhasil. Mengapa sepasang suami-istri itu hendak membunuh anaknya? Kisahnya dapat  Anda simak dalam cerita Si Kelingking berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah desa di Pulau Belitung, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Walaupun hidup miskin, mereka tetap rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan itu terasa belum lengkap, karena mereka belum mempunyai anak. Untuk itu, setiap malam kedua orang suami-istri itu senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai seorang anak.
“Ya, Tuhan! Karuniakanlah kami seorang anak, walaupun sebesar kelingking!”
Rupanya doa mereka dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tidak beberapa lama kemudian sang Istri hamil. Sepasang suami-istri itu sangat senang, karena tidak lama lagi akan mendapatkan seorang anak yang selama ini mereka dambakan.

Beberapa bulan kemudian, sang Istri pun melahirkan. Namun, mereka sangat terkejut ketika melihat bayi yang keluar dari rahim sang Istri hanya sebesar kelingking.
“Bang! Kenapa anak kita kecil sekali, Bang?” tanya sang Istri sedih.
Mendengar pertanyaan istrinya, sang Suami hanya diam. Ia seakan-akan tidak percaya apa yang sedang mereka alami. Akhirnya, sang Suami teringat dengan doa yang sering mereka ucapkan.
“Dik! Ingatkah doa kita selama ini? Bukankah kita selalu berdoa agar diberikan anak walaupun sebesar kelingking?” tanya sang Suami mengingatkan istrinya.
“Ooo, iya. Rupanya Tuhan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita,” kata sang Istri.

Bayi itu pun mereka pelihara dengan sebaik-baiknya. Waktu terus berjalan hingga anak itu berusia enam tahun. Namun, badan anak itu tetap sebesar kelingking. Oleh karena itu, mereka memberinya nama Si Kelingking.
Mulanya, sepasang suami-istri itu sayang kepada Si Kelingking. Tetapi, ada suatu hal yang membuat mereka risau, yakni walaupun badannya kecil, Si Kelingking banyak sekali makannya. Sekali makan, ia dapat menghabiskan secanting[1] nasi, bahkan terkadang masih kurang. Setiap hari suami-istri itu selalu bingung, karena penghasilan yang mereka peroleh hanya cukup untuk dimakan oleh Si Kelingking sendiri. Oleh karena sudah tidak kuat lagi menghidupi Si Kelingking, kedua suami-istri itu bersepakat hendak menyingkirkannya dari kehidupan mereka.

“Bang! Bagaimana caranya kita menyingkirkan Si Kelingking?” tanya sang Istri bingung.
“Abang punya cara,” jawab sang Suami.
“Apa itu, Bang?” tanya sang Istri penasaran.
“Besok pagi, aku akan mengajaknya ke hutan,” jawab sang Suami.
“Ke hutan? Untuk apa, Bang?” tanya sang Istri tambah bingung.
“Aku akan membuangnya di tengah hutan,” jawab sang Suami.
Sang Istri pun setuju. Keesokan harinya, sang Ayah mengajak Si Kelingking ke hutan untuk mencari kayu. Setibanya di tengah hutan, sang Ayah segera menebang pohon besar.
“Kelingking! Kamu berdiri di situ saja! Ayah akan menebang pohon ini!” seru sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking menuruti perintah ayahnya.

Namun, tanpa disadari oleh Si Kelingking, ayahnya menebang pohon itu diarahkan kepadanya. Sang Ayah sengaja melakukan hal itu, agar pohon itu menimpanya. Beberapa saat kemudian, pohon besar itu pun roboh menimpa Si Kelingking. Melihat hal itu, sang Ayah bukannya sedih, melainkan gembira.
“Matilah kau kerdil! Ha... ha... ha...!” seru sang Ayah sambil tertawa terbahak-bahak, lalu mendekati pohon besar itu.
Setelah memastikan dan yakin anaknya mati, sang Ayah segera kembali ke rumahnya untuk menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Mendengar cerita suaminya, sang Istri pun menjadi senang.

“Bang! Mulai hari ini, hidup kita akan jadi tenang,” kata sang Istri kepada suaminya.
Namun, menjelang siang hari, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar rumah.
“Ayah...! Ayah....! Diletakkan di mana kayu ini?”
“Bang! Sepertinya itu suara Kelingking. Bukankah anak itu sudah mati?” tanya sang Istri heran.
“Ayo, kita keluar melihatnya!” seru sang Suami penasaran.
Kedua suami-istri sangat terkejut saat melihat Si Kelingking sedang memikul sebuah pohon besar di pundaknya.
“Ayah! Diletakkan di mana kayu ini?” tanya Si Kelingking.
“Letakkan di situ saja!” perintah ayahnya.

Setelah meletakkan kayu itu, Si Kelingking langsung masuk ke dalam rumah mencari makanan. Oleh karena merasa kelaparan usai memikul pohon besar, ia pun menghabiskan secanting nasi  yang sudah dimasak ibunya. Sementara ayah dan ibunya hanya duduk bengong melihat anaknya, dan tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.
Sejak Si Kelingking kembali ke rumah, kehidupan mereka semakin susah. Semakin hari Si Kelingking semakin banyak makannya. Tidak cukup jika hanya makan secanting nasi. Melihat keadaan itu, sepasang suami-istri itu kembali berunding untuk mencari cara menyingkirkan Si Kelingking dari kehidupan mereka.

“Bang! Apa lagi yang harus kita lakukan?” tanya sang Istri bingung.
“Besok Abang akan mengajaknya pergi ke gunung untuk mengambil batu,” jawab sang Suami sambil tersenyum.
“Tenang, Dik! Recanaku ini pasti akan berhasil,” tambah sang Suami dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, sang Ayah mengajak Si Kelingking ke gunung untuk mengambil batu. Sesampainya di kaki gunung, sang ayah berhenti.
“Kelingking! Ayah akan naik ke atas gunung hendak mendongkel batu-batu itu. Kamu tunggu di sini saja sambil menghadang dan mengumpulkan batu-batu itu,” perintah sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking.

Setelah itu, sang Ayah mendaki gunung itu sambil membawa sebatang kayu untuk digunakan mendongkel batu. Pada awalnya, ia hanya mendongkel batu-batu kecil, lalu batu yang agak besar, dan kemudian batu yang lebih besar lagi. Pada saat mendongkel batu besar itu, ia sengaja mengarahkannya kepada Si Kelingking. Batu itu pun menindih Si Kelingking. Melihat hal itu, sang Ayah segera turun dari gunung dan menghampiri Si Kelingking yang tertindih batu.

“Kelingking! Kelingking! Kelingking!” seru sang Ayah memanggil anaknya.
Beberapa kali ia memanggil anaknya, namun tidak mendapat jawaban. Ia yakin bahwa Si Kelingking telah mati. Dengan perasaan gembira, ia pun segera kembali ke rumah dan menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Namun, sang Istri tidak langsung percaya dengan cerita itu.
“Apakah Abang yakin jika anak itu benar-benar sudah mati?” tanya sang Istri dengan perasaan ragu-ragu.
“Iya, Dik! Abang berhasil menindihnya dengan batu besar,” jawab sang Suami.
“Ya, syukurlah kalau begitu. Hidup kita akan benar-benar jadi tenang kembali,” kata sang Istri dengan perasaan lega.
Namun, ketika menjelang sore, tanpa mereka duga sebelumnya, tiba-tiba terdengar lagi suara dari luar rumah.
“Ayah...! Ayah...! Diletakkan di mana batu ini?” tanya suara itu.
“Letakkan di situ!” jawab Ayah Si Kelingking tanpa sadar.
Suami-istri itu tersentak kaget saat keluar dari rumah. Mereka melihat Si Kelingking sedang meletakkan sebuah batu besar. Setelah itu, seperti biasanya, Si Kelingking langsung masuk ke rumah untuk mencari makanan, karena kelaparan.

Akhirnya, kedua orang suami-istri itu merasa kasihan kepada anak mereka, Si Kelingking. Mereka pun menyadari bahwa walau bagaimana pun Si Kelingking lahir karena permintaan mereka sendiri. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berniat untuk membunuhnya. Mereka telah menerima kembali Si Kelingking sebagai anggota keluarga. Sementara Si Kelingking yang memiliki kekuatan lebih dari orang-orang biasa semakin rajin membantu ayahnya bekerja. Bahkan, semua pekerjaan yang berat-berat dia yang melakukannya, sehingga pekerjaan ayahnya menjadi lebih ringan dan kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi.   

* * *
Demikian cerita Si Kelingking dari Provinsi Bangka-Belitung, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral.  Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu: 

Pertama, menjauhi sifat suka memandang rendah orang lain. Sifat ini digambarkan oleh perilaku ayah dan ibu Si Kelingking. Mereka hanya melihat bentuk fisik dan kerakusan anak mereka, sehingga mereka berniat membuangnya. Namun, di luar dugaan mereka bahwa meskipun badannya kecil, ternyata Si Kelingking memiliki kekuatan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Menyadari hal itu, mereka pun menjadi sayang kepada Si Kelingking. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa jika membenci seseorang janganlah berlebihan, karena bisa jadi rasa benci itu berubah menjadi rasa sayang.

Kedua, ajal manusia ada di tangan Tuhan. Hal ini dapat dilihat pada cerita di atas bahwa walaupun ayah dan ibu Si Kelingking beberapa kali mencoba ingin membunuhnya, namun tidak pernah berhasil. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa hidup dan mati seseorang hanya Tuhan yang menentukan. Bagaimana pun kerasnya usaha seseorang untuk menghilangkan nyawa orang lain, jika Tuhan belum menghendaki, maka seseorang tidak akan mati. (SM/sas/78/05-08)

Source: Isi cerita diadaptasi dari Salim Y.A. H. dan H. Suwardi. 1996. Cerita Rakyat Dari Belitung. Jakarta: Grasindo. 
Belitungku.com Belitung News and Entertainment Online, Portal Berita Belitung dan Hiburan secara Online.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar