Cerita Rakyat Belitung - Putri Pinang Gading
Membalong
yang dulu dikenal dengan Belantu adalah nama sebuah kecamatan di
Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung (Babel),
Indonesia. Konon, di daerah ini pernah hidup sepasang suami-istri yang
bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada suatu hari, sang
suami baru selesai menangkap ikan di tepi laut. Namun, dalam perjalanan
pulang ke rumahnya, ia menemukan sebatang bambu yang sangat aneh. Bambu
itu dapat bergerak sendiri dan selalu menghalang-halangi jalannya.
Bagaimana bambu itu dapat bergerak sendiri? Lalu, apa yang akan
dilakukan Pak Inda terhadap bambu itu? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam
cerita Putri Pinang Gading berikut ini.
Alkisah, di sebuah
Kubok[1] yang bernama Kelekak Nangak yang terdapat di Kecamatan
Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai
anak. Sang Suami bernama Pak Inda, sedangkan sang Istri bernama Bu
Tumina. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap nangak[2] dan
berlantai kayu gelegar berlapik tuntong.[3] Untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan
dengan cara memasang sero[4] di tepi laut. Ketika air surut, ikan-ikan
akan terperangkap dalam sero itu.
Pada suatu hari,
musim panen padi bertepatan dengan waktu air laut surut. Pak Inda betare
(berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi
laut.
“Dik! Hari ini
Abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. Bagaimana kalau Adik
sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang Suami.
“Baik, Bang! Kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang Istri.
Dengan membawa
ambong,[5] berangkatlah Pak Inda ke laut. Ketika akan mendekati seronya,
tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu dan
melemparkannya ke laut, agar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang
surut. Namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi
dengan sepotong bambu.
“Kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam Pak Inda sambil mengamati bambu itu.
“Aneh! Sepertinya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam Pak Inda heran.
Oleh karena sudah
tidak sabar ingin melihat seronya, Pak Inda segera membuang kembali
bambu itu agak jauh ke tengah laut agar tidak menghalanginya lagi.
Setelah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. Pak Inda sangat
gembira, karena mendapatkan banyak ikan. Sebagian ikan tersebut ia
masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan,
karena ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. Setelah
itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
Namun, pada saat
akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong
bambu. Ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“Wah, tidak salah
lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. Tapi, kenapa bambu ini bisa
sampai ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya Pak Inda dalam
hati.
“Benar-benar aneh! Bambu ini dapat melawan arus air laut. Ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu.
Setelah beberapa
saat berpikir, Pak Inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai
pemikul ikan. Sesampainya di rumah, Pak Inda menceritakan peristiwa yang
dialami kepada istrinya. Oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai
penindih jemuran padi agar tidak diterbangkan angin.
Pada suatu hari,
saat sedang duduk bersantai di rumah, Pak Inda dan istrinya dikejutkan
oleh suara letusan yang sangat keras. Keduanya pun segera menuju ke
sumber suara letusan itu. Rupanya, sumber letusan itu berasal dari
sepotong bambu yang digunakan oleh sang Istri menindih jemuran padi yang
berada di depan rumah mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat
seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan
keluar dari bambu itu.
“Bang, lihat itu! Ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang Istri.
“Bayi itu menangis! Cepat tolong dia, Dik!” seru Pak Inda kepada istrinya.
Tanpa berpikir
panjang, Bu Tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. Setelah
bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
Anakku sayang, anak kandungku.
Anak kandung sibiran tulang,
Obah jerih... pelerai demam.
Bu Tumina terus
bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. Kedua
suami-istri itu sangat senang, karena telah mendapatkan seorang anak
yang sudah lama mereka dambakan. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi
itu dengan penuh kasih sayang seperti anak kandung mereka sendiri.
Mereka memberinya nama Putri Pinang Gading.
Waktu berjalan
begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun.
Setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar
rumahnya. Banyak sudah binatang buruan yang pernah dipanahnya, karena
memang sejak kecil ia sangat suka bermain panahan dan sering dilatih
oleh ayahnya cara memanah yang baik. Semenjak kehadiran Putri Pinang
Gading, rezeki Pak Inda selalu bertambah, sehingga kehidupan mereka pun
semakin sejahtera.
Pada suatu hari,
terdengar kabar bahwa di Kampung Kelekak Remban terjadi bencana yang
ditimbulkan oleh serangan burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak
Remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur
daerah Ranau. Burung Gerude itu sangat ganas dan buas. Ia
mengobrak-abrik permukiman penduduk Kelekak Remban, dan bahkan telah
menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban jadi panik. Untuk
berlindung dari serangan Burung Gerude, para warga membuat remban.[6]
Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.
Peristiwa yang
mengerikan itu terdengar oleh Putri Pinang Gading yang kini sudah
berusia 21 tahun. Ia bertekad hendak pergi ke Kampung Kelekak Remban
untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan.
“Ayah, Ibu! Izinkanlah Putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta Putri Pinang Gading.
“Apakah kamu sanggup mengalahkan burung besar itu, Nak?” tanya Pak Inda khawatir terhadap putrinya.
“Ayah tidak perlu
khawatir. Putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun
ini,” jawab Putri Pinang Gading dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus lebih berhati-hati, Nak! Kami takut kehilanganmu,” ujar Pak Inda.
“Benar, Nak! Kamu adalah putri kami satu-satunya,” sahut Bu Tumina.
“Baik, Ayah, Ibu! Putri akan jaga diri,” kata Putri Pinang Gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.
Setelah menyiapkan
beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, Putri Pinang Gading
berangkat menuju Kampung Kelekak Remban. Sesampainya di sana, kampung
itu tampak sepi. Semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka.
Putri Pinang Gading juga tidak melihat Burung Gerude itu.
“Ke mana Burung
Gerude itu? Aku sudah tidak sabar lagi ingin membinasakannya,” gumam
Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya.
Baru saja selesai
bergumam, tiba-tiba ia mendengar suara burung yang sangat keras. Suara
itu tidak lain adalah suara Burung Gerude. Burung itu terbang ke sana ke
mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. Sesekali ia
mengobrak-abrik rumah penduduk. Namun, burung itu tidak menyadari jika
Putri Pinang Gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah
pohon besar.
Putri Pinang Gading
yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu saat
yang tepat untuk meluncurkan anak panahnya. Pada saat Burung Gerude itu
lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. Anak panah itu
meluncur ke arah Burung Gerude itu dan tepat mengenai dadanya. Burung
Gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.
Para warga yang
menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah
mereka dan segera mengerumuni Burung Gerude yang sudah mati itu. Mereka
sangat kagum melihat keberanian Putri Pinang Gading. Akhirnya, kampung
itu terbebas dari ancaman bahaya serangan Burung Gerude. Untuk merayakan
keberhasilan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan
mengundang Putri Pinang Gading.
Konon, tempat
jatuhnya Burung Geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai.
Sementera anak panah Putri Pinang Gading yang mengenai dada Burung
Gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu hari, ada seorang
nelayan memotong bambu itu untuk dijadikan joran[7]pancing. Pada saat
memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan itu tersayat
dan langsung meninggal karena bambu itu masih beracun. Oleh masyarakat
setempat, bambu itu disebut dengan bulo berantu (bambu beracun).
Kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu.
Namun, dalam perkembangannya, nama Belantu berubah menjadi Membalong
yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.
Demikian cerita
Putri Pinang Gading dari daerah Bangka-Belitung (Babel), Indonesia.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung
pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas, yaitu keutamaan sifat pemberani dan pandai menghargai
sesuatu.
Pertama, keutamaan
sifat pemberani. Sifat pemberani yang dimaksud di sini adalah berani
karena benar, berani pada kebaikan dan berani menegakkan keadilan. Sifat
pemberani ini tercermin pada perilaku Putri Pinang Gading yang berhasil
membinasakan Burung Gerude yang besar dan ganas itu, walaupun ia hanya
seorang perempuan. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa
hendaknya orang tua membekali anak-anaknya dengan berbagai keterampilan
sejak masih kecil.
Kedua, sifat pandai
menghargai sesuatu. Sifat ini tercermin pada perilaku Pak Inda. Pada
mulanya, ia menganggap bahwa sepotong bambu itu tidak bermanfaat
baginya. Namun, setelah berpikir, ia pun menyadari ternyata bambu itu
berguna untuk dijadikan sebagai pemikul. Bahkan, suatu hal yang tidak
pernah diduga sebelumnya oleh Pak Inda, ternyata bambu itu menjelma
menjadi seorang bayi perempuan. Ia dan istrinya pun menjadi senang
karena telah mendapatkan seorang anak yang sudah lama mereka dambakan.
Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa jika kita mendapatkan
sesuatu benda, hendaknya tidak melihat dari segi fisiknya saja, tetapi
memikirkan manfaat yang dapat diambil dari benda tersebut.
(SM/sas/79/05-08)
Catt. kaki
[1] Kubok adalah kumpulan beberapa buah rumah.
[2] Nangak adalah sejenis daun palem berduri.
[3] Gelegar berlapik tuntong adalah kulit kayu terunjam.
[4] Sero adalah
salah satu alat penangkap ikan tradisional masyarakat Belitung yang
menyerupai bilik-bilik yang diberi pintu yang sempit.
[5] Ambong adalah sejenis kerajang atau karung untuk menggendong barang-barang.
[6] Remban adalah kayu yang disusun dan dijalin rapi dengan rotan.
[7] Joran artinya tangkai pancing atau batang pancing.
Belitungku.com
Belitung News and Entertainment Online,
Portal Berita Belitung dan Hiburan secara Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar