Legenda Pulau Kapal
Cerita ini berasal dari Belitung.
Dahulu, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal di dekat sungai
Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari
mencari dedaunan maupun buah-buahan yang dalam hutan. Hasil
pencahariannya dijual di pasar.
Keluarga tersebut
mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kulup. Si Kulup senang
membantu orang tuanya mencari nafkah. Mereka saling membantu. Meskipun
mereka hidup berkekurangan namun tidak pernah merasa menderita.
Suatu ketika, ayah
Si Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu
dijadikan sayur untuk makan bertiga. Saat menebang rebung, terlihatlah
oleh ayahnya Si Kulup sebatang tongkat yang berada pada rumpun bambu.
Pak Kulup demikian orang menyebut ayah Si Kulup mengamati tongkat
tersebut. Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan
betul tongkat tersebut bertabur dengan intan permata, dan merah delima.
Akhirnya tongkat itu diambilnya.
Pak Kulup berucap
dalam hati karena gembiranya: “Ini pertanda baik! Apakah ini tongkat
Nabi Sulaiman atau harta karun? Aduhai…. Saya jadi kaya mendadak
sekarang ini.”
Rebung tidak jadi
dibawa pulang. Pak Kulup dengan perasaan was-was, takut membawa tongkat
pulang ke rumah. Sesampai di rumah, didapatinya Si Kulup sedang tiduran
sedang istrinya berada di rumah tetangga.
Si Kulup disuruh
memanggil ibunya, tapi pemuda itu tidak mau. Ia baru saja pulang
mendorong kereta. Badannya masih terasa lelah. Ia tidak tahu bahwa
ayahnya membawa tongkat yang bertabur intan permata.
Pak Kulup pergi
menyusul istrinya yang sedang bertandang di rumah tetangga. Pak Kulup
dan Mak Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya. Sampai di rumah,
mereka bertiga berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang.
Pak Kulup
mengusulkan supaya tongkat itu disimpan saja. Mungkin nanti ada yang
mencarinya. Mak Kulup menjawab: “Mau disimpan di mana. Kita tidak punya
almari.” Kemudian Si Kulup pun usul: “Lebih baik dijual saja, supaya
kita tidak repot menyimpannya.”
Akhirnya mereka
bertiga bersepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi
untuk menjual tongkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi
meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian tongkat itupun telah terjual
dengan harga yang sangat mahal.
Setelah Si Kulup
menjadi kaya, ia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya. Ia tetap
tinggal di rantauan. Karena ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar
paling kaya di negeri tersebut.
Si Kulup sudah
beristri. Mereka hidup serba berlebihan. Si Kulup sudah lupa akan kedua
orang tuanya yang menyuruh menjual tongkat.
Setelah
bertahun-tahun mereka hidup dirantau, oleh mertuanya si Kulup disuruh
berdagang ke negeri lain bersama istrinya. Si Kulup lalu membeli sebuah
kapal besar. Ia juga menyiapkan anak buahnya yang diajak serta berlayar.
Mereka berdua minta doa restu kepada orang tuanya agar selamat dalam
perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangannya.
Mulailah mereka
berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu Si Kulup teringat
kembali akan kampung halamannya. Ketika sampai di muara sungai Cerucuk
mereka berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena suara dari binatang
perbekalannya, seperti ayam, itik, angsa, burung.
Kedatangan Si Kulup
di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya. Sangatlah rindu kedua
orang tuanya, terlebih-lebih emaknya. Emaknya menyiapkan makanan
kesukaan si Kulup seperti : ketupat, rebung, belut panggang dan
sebagainya. Kedua orang tuanya datang di kapal sambil membawa makanan
kesukaan anaknya.
Sesampainya di kapal
kedua orang tua itu mencari anaknya Si Kulup. Si Kulup sudah menjadi
saudagar kaya melihat kedua orang tuanya merasa malu, maka diusirnyalah
kedua orang tuanya. Buah tangan yang dibawa oleh emaknya pun dibuang.
Saudagar kaya itu marah sambil berucap “Pergi! Lekas pergi. Aku tidak
punya orang tua seperti kalian. Jangan kotori tempatku ini. Tidak tahu
malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua
miskin seperti kau. Enyahlah, engkau dari sini!”
Pak Kulup dan
istrinya merasa terhina sekali. Mereka cepat-cepat meninggalkan kapal.
Putuslah harapannya bertemu dan mendekap anak untuk melepas rindu. Yang
mereka terima hanyalah umpatan caci maki dari anak kandungnya sendiri.
Setibanya di darat,
emak Si Kulup tidak dapat menahan amarahnya. Ia benar-benar terpukul
hatinya melihat peristiwa tadi. Ia berucap “Kalau saudagar itu
benar-benar anakku Si Kulup dan kini tidak mau mengaku kami sebagai
orang tuanya, mudah-mudahan kapal besar itu karam.”
Selesai berucap
demikian itu, ayah dan emak Si Kulup pulang ke rumahnya dengan rasa
kecewa. Tidak berapa lama terjadi suatu keanehan yang luar biasa,
tiba-tiba gelombang laut sangat tinggi menerjang kapal saudagar kaya.
Mula-mula kapal itu oleng ke kanan dan ke kiri, menimbulkan ketakutan
yang luar biasa pada seluruh penumpangnya. Akhirnya kapal itu terbalik,
semua penumpangnya tewas seketika.
Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal
besar itu, muncul sebuah pulau yang menyerupai kapal. Pada waktu-waktu
tertentu terdengar suara binatang bawaan saudagar kaya. Maka hingga
sekarang pulau itu dinamakan “Pulau Kapal”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar